PIDATO PERPISAHAN YANG MONUMENTAL DARI EYANG PRABU RAGAMULYA SURYAKANCANA (SILIWANGI VI)
Di
tengah suasana murung yang menyelimuti Pajajaran, Eyang Prabu Ragamulya
Suryakancana (Siliwangi VI) mengucapkan pidato perpisahan monumental
yang kemudian dikenal dengan Wangsit Siliwangi.
“Lalakon urang
ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi
ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak,
ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna,
supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui
Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu
ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal
ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu
somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”
“Perjalanan kita
hanya sampai hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Aku tidak
boleh membawa kalian menjadi turut menderita, hina dan kelaparan. Kalian
boleh memilih, demi masa depan, jalan untuk hidup bahagia dan
sejahtera, dan kelak mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti
saat ini, tapi Pajajaran yang baru, yang berdiri di tengah perubahan
jaman! Pilih! aku tidak akan menghalang halangi. Sebab bagi ku, tidak
pantas seseorang menjadi raja ketika rakyatnya lapar dan menderita.”
Dalam mukadimah wangsitnya, Eyang Prabu Ragamulya Suryakancana
(Siliwangi VI) mengakui ini lah saat saat senja Kerajaan Pajajaran. Suatu
pengakuan yang jujur dan realistis. Di saat seperti itu, beliau
mempersilakan rakyat dan pengikutnya untuk menimbang nimbang berbagai
pilihan. Tulus beliau katakan, pilihan untuk tetap setia pada raja saat
itu adalah pilihan untuk menderita dan kelaparan. Tidak ada larangan
untuk mereka yang tidak akan menempuh jalan yang diambil oleh raja.
Inilah
tipikal mental raja atau urang Sunda jaman baheula. Jujur, tegas, dan
mengedepankan harga diri. Sikap serupa pernah ditunjukkan oleh Prabu Lingga
Buanawisesa dan Dyah Pitaloka di perang Bubat. Mereka lebih baik mati
dari pada hidup ditengah bayang bayang penghinaan orang lain.
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah
kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka
beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah
wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke
selatan! Yang ingin kembali lagi ke ibukota yang ditinggalkan, cepat
memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang
berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut
siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!
Empati seorang
raja terhadap suasana psikologis pengikutnya. Eyang Prabu Ragamulya
Suryakancana (Siliwangi VI) tanggap menangkap apa yang berkecamuk dalam
hati dan pikiran rakyatnya kala itu. Alih alih memaksa untuk setia
mengikuti rajanya, beliau malah memberikan kebebasan untuk memilih jalan
hidup.
Sebagian yang setia pada raja akhirnya benar benar
pergi ke selatan. Mereka pada umumnya mengambil rute Pakuan, Bantar
Gadung dan akhirnya Palabuhanratu. Setidaknya rute ini terdokumentasi
dalam Pantun Bogor. Mereka yang ke selatan inilah yang akhirnya membuka
permukiman baru, Palabuhanratu dan pesisir laut kidul. Namun pelarian
melalui rute ini tidak lah mudah. Karena saat itu Pasukan Banten masih
tetap mengejar sisa sisa pasukan yang setia kepada Eyang Prabu Ragamulya
Suryakancana (Siliwangi VI). Kisah kisah menarik mewarnai perburuan
terakhir darah biru Kerajaan Pajajaran. Termasuk di dalamnya cinta,
pengkhianatan, keyakinan, dan peperangan itu sendiri. Sebuah epik yang
mengharu biru, namun terkubur dalam debu sejarah.
Daréngékeun!
Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya
turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi
masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna.
Jig geura narindak!
Dengarkan! Kalian yang memilih ke timur
harus tahu: Kejayaan akan menyertai kalian! Keturunan kalian bakal
memerintah di antara kalian sendiri dan juga orang lain. Tapi ingat,
kalian nanti bakal lupa diri. Bakal ada pembalasan untuk ini. Silahkan
pergi!
Obyek yang dituju kelihatannya merujuk pada kekuatan
Kesultanan Cirebon kala itu. Angin jaman memang memihak Cirebon kala
itu. Betapa tidak, kesultanan ini melewati masa keemasannya di bawah
Sunan Gunung Jati, berfungsi dan dihormati sebagai pusat penyebaran
agama Islam di tanah Sunda, masih eksis di jaman Mataram Islam, bertahan
selama masa penjajahan Belanda, dan kesultanan ini secara de fakto
masih berdiri dalam kerangka Republik Indonesia (Kanoman dan Kasepuhan).
Tidak salah kalau wangsit ini mengatakan mereka yang masih menginginkan
kekuasaan untuk pergi ke Cirebon (timur) mengingat panjangnya umur
kesultanan ini. Peluang untuk merengkuh kekuasaan terbuka lebar di sana.
Namun kita tidak tahu kala itu siapa pengikut Eyang Prabu Ragamulya
Suryakancana (Siliwangi VI) yang benar benar pergi ke Cirebon. Dan turut
berkuasa di sana, lupa diri, dan dan kemudian terkena karma.
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna,
turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut
salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa.
Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora
tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di
Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura
narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Kalian yang memilih
pergi ke barat! Carilah Ki Santang! Sebab di masa depan, keturunannya
akan menjadi orang bijak yang akan mengingatkan diri kalian dan orang
lain. Juga menjadi pengingat kepada bekas teman teman kalian senegara,
dan seiman yang masih lurus hatinya. Ingatlah, bila suatu
malam dari gunung Halimun terdengar suara kentongan, itulah tandanya.
Keturunannya akan dipanggil oleh yang mau menggelar hajatan di Lebak
Cawéné. Jangan lamban, sebab telaga akan pecah! Silahkan segera pergi!
Tapi jangan menoleh kebelakang!
Dia nu marisah ka beulah kalér,
daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal
baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi
pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka
seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun.
Sing waspada!
Kalian yang memilih ke utara, dengarkan! Ibukota
yang akan kalian datangi takkan pernah bisa kalian temukan. Yang akan
kalian temukan hanyalah padang ilalang yang harus dibersihkan. Keturunan
kalian nantinya kebanyakan hanya akan menjadi rakyat biasa. Kalau ada
yang jadi pejabat pun tidak akan punya kekuasaan. Ingatlah, kalian nanti
akan terdesak oleh para pendatang. Dan akan banyak lagi orang yang
datang, tapi pendatang yang menyusahkan. Waspadalah!
Ini adalah
pilihan sebagian orang orang yang ingin kembali ke Dayeuh, ke Pakuan,
bekas ibukota Pajajaran. Nampaknya banyak juga keturunan Pajajaran yang
kembali ke Pakuan, atau kota Bogor sekarang dan beranak pinak disana.
Mereka kelihatannya tipikal orang yang tidak bisa begitu saja
menghilangkan memori tanah kelahiran. Namun inilah visi Siliwangi
terhadap orang orang yang pergi ke utara : mereka kelak hanya akan
menjadi rakyat biasa. Kalaupun ada yang menjadi pejabat, tak kan punya
kekuasaan. Dan yang lebih mengenaskan, mereka akan terdesak oleh para
pendatang. Yang dalam bahasa Siliwangi : pendatang yang menyusahkan.
Setelah mendengarkan pidato perpisahan dari Raja, massa pengikut Eyang
Prabu Ragamulya Suryakancana (Siliwangi VI) mulai melakukan komunikasi
antar mereka sendiri dan perlahan terhimpun dalam empat kelompok. Tiga
kelompok kemudian pamit kepada sang Raja untuk menempuh tujuannya masing
masing : utara, barat, dan timur. Sedangkan sebagian besar tetap
bertahan bersama Raja mereka untuk bergegas ke selatan.
Maka
dimulailah evakuasi yang mengubah sejarah Sunda selanjutnya. Pasukan
Banten tentu saja mengejar kelompok Raja yang bergerak ke arah selatan.
Terjadilah pertempuran sepanjang jalan. Prajurit Pajajaran menggunakan
taktik bertempur sampai mati untuk menahan laju musuh sembari memberi
kesempatan kelompok inti Raja untuk menjauh. Sementara kelompok inti
Raja pun memecah diri dalam kelompok lebih kecil untuk memecah
konsentrasi musuh.
Sebuah pecahan kelompok Raja bahkan hanya
beranggotakan tiga orang, yaitu Rahyang Kumbang Bagus Setra, Nyi Putri
Purnamasari, dan Rakean Kalang Sunda. Mereka diburu oleh pasukan Banten
yang dipimpin oleh Jaya Antea. Kejar mengejar kelompok ini akhirnya
sampai di Pantai Selatan Tanah Sunda. Sebelum menceritakan bagaimana
kisah mereka, kita perlu kembali ke belakang sejarah untuk melihat
kaitan antar empat orang yang bertempur ini.
Nyi Purnamasari
adalah putri sulung dari istri ke tujuh Eyang Prabu Ragamulya
Suryakancana (Siliwangi VI). Kecantikannya luar biasa, sehingga tak
heran banyak para pangeran dan bangsawan yang berebut memperistrinya.
Dua orang 'kontestan' terkuat adalah Jaya Antea yang kala itu menjabat
Mantri Majeuti (sekretaris Negara) dan Rahyang Kumbang Bagus Setra
seorang Pangeran Kerajaan bawahan Pajajaran, yaitu Pajajaran Girang.
Nyi Purnama Sari lebih memilih sang Pangeran Pajajaran Girang. Merasa
cintanya tak sampai, Jaya Antea memilih mundur dari jabatan dan diam
diam mulai bergabung dengan komunitas Islam yang mulai berkembang
terutama di daerah Banten. Rupanya Jaya Antea orang cerdas yang tanggap
menangkap perubahan jaman. Dia melihat Banten sebagai calon penguasa
baru tanah Pasundan di era berikutnya. Sementara pengikut Islam mulai
tumbuh dan berkembang dari timur dan barat Pajajaran dalam jumlah yang
berlipat setiap harinya. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk Islam dan
berganti nama menjadi Al Kowana. Dan tidak lama kemudian menunaikan
ibadah haji.
Sepulang haji dia kemudian menghadap ke Sultan
Maulana Yusuf di Kesultanan Banten. Kepada Sultan Banten dia mengaku
sebagai Prabu Anom putra mahkota Pajajaran yang bernama Rahyang Santang
Aria Cakrabuana. Inilah memang keanehan atau kecelakaan sejarah. Antara
Jaya Antea dan Prabu Anom memang mirip, sehingga orang yang tidak
mengenal lebih dalam sukar membedakan keduanya. Dia mengaku telah masuk
Islam dan melakukan ibadah haji dan mohon dukungan sultan untuk
mengislamkan Pajajaran yang masih 'kafir'.
Sultan yang
terpedaya akhirnya merestui. Disamping sudah dua kali ini pasukan Banten
menyerbu Pakuan, tapi dua kali itu juga dapat dipatahkan Pajajaran.
Setelah mendapat restu sultan, akhirnya Jaya Antea menyusun strategi
baru untuk merebut Pakuan. Dia paham, sebagai bekas orang dalam, bahwa
benteng Pajajaran bukan dibuat oleh orang sembarangan. Benteng ini
pertama kali dibangun oleh Prabu Banga, Raja Sunda Kuno era Sunda Galuh.
Kemudian disempurnakan oleh Sri Baduga Maharaja dengan campuran
teknologi benteng ala Portugis.
Dia tidak melakukan serangan
frontal seperti sebelumnya. Berbekal dulunya memang orang dayeuh dan
kemiripan dengan Prabu Anom, dia melenggang memasuki benteng Pakuan
dengan leluasa. Sungguh penyamaran yang sempurna. Setelah beberapa lama
mengamati situasi, akhirnya dia menyimpulkan bahwa bila berhasil membuka
Lawang Gintung (salah satu pintu gerbang Pakuan), maka Pasukan Banten
akan dengan mudah meluluh lantakkan Pakuan.
Dan benar saja,
pada hari yang ditentukan, dengan terbukanya Lawang Gintung, maka
pasukan Banten dengan leluasa membumi hanguskan terutama lima bangunan
utama istana Pakuan, yaitu Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati
atau "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton
induknya. Semuanya dibumihanguskan dalam semalam.
Pertempuran antara kelompok kecil Nyi Ratu Purnamasari dengan Pasukan Banten Jaya Antea
Tentang cinta, pengkhianatan, keyakinan dan peperangan terus berlanjut.
Jaya Antea yang masih memendam bara cinta terhadap Nyi Ratu Purnamasari
terus membuntuti rombongan kecil ini. Di suatu tempat di Bantargadung
dua kelompok yang dari segi jumlah tidak seimbang terus bertempur sampai
malam menghentikan pertumpahan darah itu. Pada malam itulah terjadi
dialog antara Jaya Antea dengan Ki Kalang Sunda,
Jaya Antea : "Rakean.... kaula datang rain eudeuk nangtang perang! Tapi ngajak
dia hirup dina jaman anyar ambeh dimana jaga anggeus paeh bakal hirup deui
nguenah, ngeunah dipirig bidadari nu gareulis"
( Rakean...
aku datang bukan hendak menantang perang! Tapi mengajak kamu hidup
di jaman baru. Agar pada saat dibangkitkan nanti setelah mati, kita
dikelilingi bidadari teramat cantik)
Kalang Sunda : "Kaula hanteu butuh ku bidadari! Montong teuing engke di paeh mudu
maraban bikang opat puluh. ayeuna oge di eukeur hirup pikeun kaula
sorangan oge geus sakitu susah payahna!"
(Aku tidak butuh bidadari. Kebayang aku harus memberi makan 40 bidadari. Buat makan sekarang saja sudah begitu susahnya!)
Dialog antar dua orang sakti Pajajaran ini memang lucu juga. Satu
karuhun dua keyakinan bisa membuat sebuah dialog menjadi tidak nyambung.
Namun hal lain yang dapat kita tangkap, masalah keyakinan ini memang
menjadi isu panas saat itu.
Singkat cerita, pertarungan terus
berlangsung hingga pantai selatan. Di tempat ini Rahyang Kumbang Bagus
Setra gugur ditangan Jaya Antea. Namun di tempat ini juga Jaya Antea
tewas di tangan Kalang Sunda. Ini pertempuran legendaris karena keduanya
merupakan pendekar terkemuka di jamannya. Tempat dimana Kalang Sunda
dan Jaya Antea bertempur diabadikan menjadi tempat bernama Jayanti, nama
itu dipakai hingga kini.
Sepeninggalan Eyang Prabu Sri Baduga
Maharaja, memang tidak lagi lahir raja setangguh beliau. Sebelum Eyang
Prabu Raga Mulya Suryakancana bertahta, Pajajaran telah dilanda mendung
tak berkesudahan. Rakyat banyak yang menderita kelaparan. sementara Raja
Nilakendra abai dengan apa yang sedang terjadi. Beliau lebih sibuk
dengan urusan kebatinan dan proyek mempermegah istana. Saat itu Pakuan
sudah mulai banyak ditinggalkan penduduknya.
Kehadiran Eyang
Prabu Raga Mulya Suryakancana sudah tidak mampu lagi perubahan jaman.
Ditambah dengan cinta, pengkhianatan, perbedaan keyakinan, dan
akhirnya peperangan itu yang menyudahi segalanya.
Sisa terakhir
pasukan banten telah dihalau. Jaya Antea sang pemimpin telah berkalang
air - tubuhnya dilempar ke laut. Tetapi kisah belum selesai. Malah babak
baru sesunguhnya baru saja dimulai. Pada saat pelarian itu Nyi
Purnamasari sedang hamil 5 bulan. Ki Kalang Sunda mencari tempat yang
aman untuk junjungannya agar selamat selama persalinan. Ditemukanlah
tempat yang bernama Babakan Cidadap, di sebuah mata air yang bernaung
dibawah pohon dadap tak jauh dari sungai Cimandiri.
Sebenarnya
di daerah ini telah hadir penduduk asli setempat dengan puun sebagai
kepala kampung. Saat itu puun yang memimpin adalah Ki Saragosa, Ki
Gandana, dan Ki Sanaya. Sehingga pada saat Nyi Purnamasari melahirkan,
mereka dengan dibantu masyarakat setempatlah yang bergotong royong
membantu persalinan. Bayi lahir sehat dan berjenis kelamin perempuan.
Kemudian diberi nama Nyi Mayang Sagara.
Kedatangan Nyi
Purnamasari membawa berkah tersendiri bagi Cidadap. Cidadap tumbuh
menjadi pelabuhan ramai, dan penduduknya kian berkembang. Para puun
kemudian sepakat mengangkat Nyi Purnama sari menjadi puun Nyi Ratu
Purnamasari. Itulah kali pertama kata ratu dipergunakan. Namun ekonomi
yang meningkat juga memancing kedatangan bajak laut (bajo) yang terkenal
ganas yang kala itu datang dari Nusa Barung, Jawa Timur. Dua kali
mereka datang, dua kali para bajo ditaklukkan. Kepemimpinan Nyi Ratu
terbukti berhasil mengamankan dan memakmurkan wilayah ini. Sehingga nama
Cidadap makin berkibar saja.
Sebagaimana tradisi karuhun, pada
masa keemasan Cidadap Nyi Ratu mengambil keputusan untuk melakukan
tapa. Lokasi yang dipilih adalah desa Cicareuh Kecamatan Warungkiara
sekarang. Sedangkan kekuasaan sementara dipegang oleh ketiga puun
semula. Sedikit terjadi kemunduran pada saat Cidadap ditinggalkan Nyi
Ratu. Untuk menggairahkan kembali perdagangan di Cidadap, maka lokasi
pelabuhan di pindahkan ke seberang sungai Cimandiri, dimana sekarang
berdiri tempat pelelangan ikan.
Sejalan dengan beranjak
dewasanya Nyi Mayang sagara, maka ketiga puun sepakat menyerahkan
kembali tampuk pimpinan kepada putri Nyi Ratu tersebut, yang kemudian
bergelar Nyi Ratu Kidul. Kemudian nama pelabuhan pun diganti menjadi
Palabuan Nyi Ratu. Lidah urang Sunda menyingkatnya menjadi Palabuan
Ratu. Tata bahasa menjadikannya Palabuhanratu.
Nyi Ratu Kidul
kemudian menikah dengan RAHYANG BAGUS SANGGA LARAPAN, turunan bangsawan
Pakuan Gunung Tambaga. Pada masa ini Palabuhanratu mencapai masa
keemasannya. Wilayahnya terbentang dari lebak sampai Gebang Kuning
Garut. Setelah itu sejarah tak mencatat apapun mengenai
Palabuhanratu dan pesisir laut kidul. Hanya kenangan bahwa wilayah ini
pernah diperintah dua ratu, sehingga nama Lara Kidul (dua Ratu Kidul)
kemungkinan berasal dari masa ini.