Selamat datang di Blog kami, semoga bermanfaat

Senin, 23 Desember 2013

TRAGEDI PERANG BUBAT


Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Lingga Buanawisesa dari Kerajaan Sunda-Galuh di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Kerajaan Sunda-Galuh. Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda-Galuh. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Rahyang Jayadarma kakak dari raja kerajaan Sunda Prabu Ragasuci.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Kerajaan Sunda-Galuh. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Lingga Buanawisesa untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan Kerajaan Sunda-Galuh sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki.

Prabu Lingga Buanawisesa memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Prabu Lingga Buanawisesa berangkat bersama rombongan Kerajaan Sunda-Galuh ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Raja Sunda-Galuh datang ke Bubat beserta Permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda-Galuh. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai Kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda-Galuh lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda-Galuh kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda-Galuh di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Prabu Lingga Buanawisesa dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Kerajaan Sunda-Galuh yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Prabu Lingga Buanawisesa untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda-Galuh, Prabu Lingga Buanawisesa menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Prabu Lingga Buanawisesa dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Prabu Lingga Buanawisesa, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga Kerajaan Sunda-Galuh. Raja Sunda-Galuh beserta segenap pejabat kerajaan Sunda-Galuh binasa di lapangan Bubat.

disebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Tindakan ini diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda-Galuh yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi dalem. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda-Galuh, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini nampak sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Galuh dengan Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskala Wastu Kancana — adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskala Wastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda-Galuh diberlakukan peraturan larangan "estri ti luaran", yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar